Tahun 2018 menjadi tantangan yang berat bagi industri penerbangan tanah air. Melemahnya nilai tukar rupiah dan harga avtur yang merangkak membuat kinerja maskapai cukup berdarah-darah.
Direktur Utama PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP), Dendy Kurniawan tidak menampik hal itu. Beban avtur AirAsia sepanjang tahun lalu naik 53% dengan harga avtur rata-rata sebesar US$ 85 per barel, naik dari tahun sebelumnya US$ 64 dolar AS per barel.
Memang betul, perusahaan dengan tagline Now Everyone Can Fly ini mencatatkan kinerja keuangan yang belum menggembirakan di tengah tekanan yang berlangsung sepanjang tahun lalu.
Namun, kata Dendy, ia tidak serta merta langsung mengompensasinya dengan menaikkan harga tiket pesawat AirAsia, karena bisa membebani penumpang.
“Kenaikan biaya avtur bisa pass through ke penumpang dalam wujud harga tiket. Kita jangan pass through ke penumpang. Kita lihat load factor, semakin banyak bisa menutup. Load factor makin tinggi, jualan yang lain makin tinggi,” kata Dendy, dalam dialog di acara Squawk Box, CNBC Indonesia, Kamis (11/4/2019).
Diakui Dendy, memang harga avtur di Jakarta lebih mahal dibanding Singapura, karena itu perusahaan yang bermarkas di Sepang, Malaysia itu melakukan hedging. “Istilahnya tankering. Tapi di situ juga ada hitung-hitungannya. Fuel berat juga tidak efisien. Selama disparitas harga signifikan orang tergerak lakukan itu,” ujarnya.
Mengenai aturan batas atas dan batas bawah dalam rute penerbangan domestik, pihaknya setuju terkait adanya regulasi tersebut, karena untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen agar tidak terjadi monopoli.
“Sebetulnya terkait regulasi Kemenhub batas bawah batas awah, itu memberikan perlindungan ke konsumen. Jangan sampai ada monopoli. Intinya kami selalu patuh ke pemerintah, tapi kalau bisa tak harus ada batas bawah,” kata Dendy, menambahkan.