Ormas Berulah Lagi, Pungutan liar atau pungli yang dilakukan organisasi masyarakat atau ormas kembali terjadi. Setelah marak meminta Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang Lebaran, kini ormas berulah dengan memalak truk barang di jalan.
Fenomena Premanisme Jalanan Masih Marak di Indonesia
Kasus organisasi masyarakat (ormas) yang kembali berulah mencuat ke publik. Setelah sebelumnya viral karena meminta tunjangan hari raya (THR) secara paksa kepada pelaku usaha, kini sejumlah ormas kedapatan memalak sopir truk barang di sejumlah titik rawan, terutama di jalur distribusi logistik wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat.
Aksi ini kembali memperkuat stigma premanisme jalanan yang kerap mengganggu aktivitas masyarakat, khususnya para pekerja sektor logistik.
Modus Baru: Dari Minta THR ke Pungli Jalanan
Setelah ramai diberitakan soal ormas minta THR secara paksa, kini modus mereka bergeser. Para supir truk barang mengeluhkan aksi pemalakan yang dilakukan dengan dalih “uang keamanan” atau “retribusi sukarela”. Faktanya, aksi ini tidak memiliki dasar hukum dan tergolong sebagai pungli sopir truk yang meresahkan.
Seorang supir truk asal Bekasi mengaku harus mengeluarkan uang hingga Rp50.000 per titik jika menolak, maka ancaman intimidasi dan perusakan kendaraan mengintai. “Kadang mereka bawa atribut ormas, pakai baju loreng. Kalau kita gak kasih, mereka maki-maki bahkan ancam pecahkan kaca,” ujarnya.
Peran Aparat dan Pemerintah Dipertanyakan
Masyarakat mempertanyakan sikap tegas pemerintah terhadap maraknya ormas palak sopir truk. Banyak yang mendesak aparat penegak hukum untuk tidak membiarkan praktik ini terus berlangsung, karena bukan hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga menciptakan rasa tidak aman.
Pakar hukum pidana, Dr. Satria Gunawan, menyebut bahwa tindakan tersebut dapat dijerat pasal pemerasan dan tindak pidana kekerasan. “Tidak ada satupun aturan yang membolehkan ormas meminta uang di jalan, apalagi dengan ancaman. Ini murni tindakan melawan hukum,” jelasnya.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Aksi premanisme jalanan ini menimbulkan efek domino pada sektor logistik dan distribusi barang. Biaya operasional truk meningkat karena beban pungli, yang pada akhirnya dibebankan pada harga barang konsumsi. Hal ini tentu merugikan masyarakat luas dan menghambat efisiensi distribusi nasional.
Tak hanya ekonomi, sisi psikologis para pekerja transportasi pun terganggu. Banyak supir mengaku stres dan trauma karena terus dihadapkan pada ancaman kekerasan dari ormas yang merasa kebal hukum.
Masyarakat Diminta Berani Melapor
Kapolri dan pemerintah daerah telah mengimbau masyarakat untuk berani melaporkan praktik pemalakan oleh ormas. Layanan pengaduan seperti Hotline Polri 110 dan aplikasi Dumas Presisi bisa dimanfaatkan sebagai sarana pelaporan cepat.
Sebagai masyarakat, kita juga berperan penting dalam menolak normalisasi praktik pungli dan premanisme. Jika dibiarkan, aksi ini akan menjadi budaya yang makin sulit diberantas.
Q & A Dengan Topik Pembahasan Ormas Berulah Lagi Setelah THR Sekarang Palak So[ir Truk Barang. Dengan Narasumber Dr. Fajar Ramadhan Pakar Kriminologi & Premanisme , Ir. Wahyu Santoso Pengamat Transportasi Dan Logistik, Dan Kompol (Purn.) Rina Dewanti Pakar Keamanan Jalan Raya
Apa yang sebenarnya terjadi di balik aksi ormas yang memalak sopir truk barang setelah momen THR ini?
Dr. Fajar Ramadhan – Pakar Kriminologi & Premanisme:
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Modusnya berganti-ganti tergantung momentum. Saat menjelang Lebaran, mereka minta ‘THR’. Setelah Lebaran, modus berubah jadi ‘uang jalan’ atau ‘keamanan wilayah’. Ini jelas aksi pemerasan berkedok kegiatan organisasi masyarakat.
Mengapa sopir truk menjadi target utama aksi premanisme ini?
Ir. Wahyu Santoso – Pengamat Transportasi dan Logistik:
Sopir truk adalah pihak paling lemah dalam rantai logistik. Mereka terburu-buru, tertekan target, dan sering tidak mendapat dukungan hukum atau perlindungan maksimal. Ormas tahu ini. Mereka manfaatkan celah tersebut karena sopir cenderung memilih “bayar saja biar cepat jalan”.
Bagaimana dampaknya terhadap sektor logistik dan distribusi barang?
Ir. Wahyu Santoso:
Sangat signifikan. Biaya-biaya liar seperti ini membuat biaya distribusi meningkat. Efeknya berantai: harga barang bisa naik, efisiensi terganggu, dan iklim investasi logistik jadi tidak kondusif.
Dari sisi keamanan jalan, apakah ini mengancam pengguna jalan lainnya juga?
Kompol (Purn.) Rina Dewanti – Pakar Keamanan Jalan Raya:
Tentu. Premanisme yang dibiarkan berkembang di jalan raya membuka celah kekacauan dan ketakutan. Jika sopir truk bisa dipalak, pengendara pribadi pun bisa jadi sasaran selanjutnya. Ini soal kepastian hukum dan rasa aman di ruang publik.
Apa peran aparat dan pemerintah daerah dalam mencegah aksi seperti ini terus berulang?
Dr. Fajar Ramadhan:
Aparat seharusnya bertindak tegas. Tapi kenyataannya, masih ada pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum. Pemerintah daerah juga harus aktif mencabut izin ormas yang terbukti menyalahgunakan kewenangan atau melakukan kekerasan/ancaman.
Solusi konkret apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi premanisme jalanan terhadap sopir truk?
Kompol (Purn.) Rina Dewanti:
-
Operasi gabungan rutin di titik-titik rawan.
-
Panic button atau hotline darurat untuk sopir.
-
Pemasangan CCTV di jalur logistik utama.
-
Sanksi tegas terhadap ormas yang melanggar.
-
Pendidikan hukum untuk sopir agar tahu hak mereka.
Apa pesan untuk sopir truk yang jadi korban pemalakan ormas?
Ir. Wahyu Santoso:
Laporkan! Jangan diam. Dokumentasikan jika bisa. Industri logistik kini juga mulai sadar akan pentingnya perlindungan sopir. Semakin banyak yang bersuara, semakin besar kemungkinan perubahan.
Kesimpulan
Kasus ormas palak sopir truk usai insiden ormas minta THR adalah sinyal bahwa premanisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas agar jalur distribusi logistik kembali aman dan lancar. Perlu kesadaran kolektif, dari masyarakat hingga aparat penegak hukum, untuk mengakhiri praktik-praktik pemerasan yang merugikan banyak pihak.